-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

LAEKO LAPANDEWA, S.HI.,M.H. -Perlunya Tindakan Hukum Terhadap Pelaku PETI, Demi Menjamin Kelestarian Lingkungan

Sunday, 5 January 2025 | January 05, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-01-06T03:32:46Z

Namlea, Sabtu, 4 Januari 2024

Masalah Pertambangan Tanpa Izin di Gunung Botak yang Tak Kunjung Tuntas

Pertambangan Tanpa Izin (PETI) masih menjadi persoalan yang berlarut-larut di kawasan tambang Gunung Botak hingga saat ini. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai fungsi pengawasan yang seharusnya melekat pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Laeko Lapandewa, S.HI., M.H., seorang praktisi hukum sekaligus Divisi Hukum LSM Ekologi Pembangunan, menyampaikan keprihatinannya terkait lemahnya pengawasan pemerintah. Dalam keterangannya melalui telepon kepada awak media, ia menyatakan bahwa lemahnya pengawasan dan penegakan hukum membuat aktivitas PETI terus berlangsung tanpa henti.

"Gunung Botak, yang terletak di Desa Persiapan Wamsait, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, mulai dikenal publik sejak 2012 karena potensi tambang emasnya yang besar. Sayangnya, emas tersebut justru dikelola oleh oknum penambang secara ilegal, tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sebaliknya, aktivitas ini berpotensi membawa malapetaka di masa depan," ungkap Laeko.

Upaya penertiban yang dilakukan pihak kepolisian dan pemerintah daerah tampaknya belum efektif. Aktivitas PETI terus berulang tanpa memedulikan hukum maupun dampak lingkungan.

"Jika dibiarkan terus-menerus, masyarakat yang terkena dampak dan lingkunganlah yang paling dirugikan. Kerusakan lingkungan yang terjadi hari ini akan sulit dipulihkan, dan generasi mendatang mungkin tidak lagi dapat menikmati lingkungan yang lestari," tambahnya.

Laeko juga menyoroti berbagai konflik yang timbul akibat PETI, mulai dari konflik horizontal, kerusakan dan pencemaran lingkungan, hingga konflik sosial, ekonomi, dan budaya. Ia menduga adanya pembiaran oleh pihak-pihak tertentu yang membuat aktivitas PETI terus berlangsung secara masif.

Menurut Laeko, PETI adalah aktivitas penambangan yang dilakukan tanpa izin resmi, tidak sesuai dengan prinsip pertambangan yang baik, dan berdampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial. Aktivitas ini juga melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa pelaku penambangan tanpa izin dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar. Selain itu, pasal 161 mengatur pidana bagi pihak yang mengolah, memanfaatkan, atau menjual mineral dan/atau batubara tanpa izin.

Dampak sosial PETI meliputi hambatan pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, potensi konflik sosial, kerawanan keamanan, kerusakan fasilitas umum, hingga gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia. Secara ekonomi, PETI menurunkan penerimaan negara, memicu kesenjangan ekonomi, dan menimbulkan kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat.

"Dampak lingkungan PETI sangat serius, seperti kerusakan hutan, bencana lingkungan, gangguan produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta pencemaran air sungai," jelasnya.

Selain itu, pelaksanaan PETI sering mengabaikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3), seperti penggunaan peralatan tidak standar, ketiadaan alat pelindung diri (APD), dan minimnya ventilasi pada tambang bawah tanah.

Laeko menyerukan tindakan tegas dari pemerintah untuk menghentikan aktivitas ilegal ini. "Harus ada langkah konkret dalam penegakan hukum agar efek jera tercipta. Jika dibiarkan, kerusakan jangka panjang akan terus terjadi, dan generasi mendatang tidak lagi bisa menikmati lingkungan yang sehat," pungkasnya (kabiro buru)

×
Berita Terbaru Update